Walau Lapar Tapi Tetap Bahagia (Sabtu, 14/10/2017)

Sekitar pukul 05.00 pagi, ruang depan masih terang saja dengan lampu philips hemat energi.
Tertidur dan tak sadarkan diri di atas tumpukan ijazah kosong yang belum terisi. Pekerjaan yang seharusnya tuntas lima hari lalu, masih menyisakan beban. Bila terus menambah hari, alasan apa yang harus aku buat. Ini soal masalah kepercayaan, ga ada orang jual di pasar. 
Berangkat ke sekolah agak siang. Tidak takut dapat komentar pedas lantaran ada ijazah di tangan. Bilang saja telat karena ni ijazah, meskipun belum jadi sepenuhnya. Jadi, bisa sok sibuk di kantor nanti.
Lima menit dibutuhkan untuk sampai tujuan, jantung ini perlahan kencang membayangkan wajah muram sadis Pak Kepala. Ah, nyante saja semuanya pasti akan baik-baik saja. Gerbang behasil dilewati, mata langsung fokus sama deretan kursi plastik biru dengan terop terhias rapi. Ada apa gerangan, kayak kondangan aja tuh sekolah. Dari semua siswa yang hadir, setidaknya ada dua orang yang peduli dengan kedatanganku. Berhubung senyum masih ada, pertanyaan mulai aku lontarkan.
"Ini, acara apaan ya" tanyaku
"Launching pak......." jawabnya
"ooooooooo......, kok saya ga tau ya" (mencoba mengambil situasi tanpa peduli keadaan)
Hati mulai terasa sedikit lega. Pelajaran hari ini kosong dong. Berjalan dan memastikan acara apa sebenarnya. Waw, ternyata ni acara bakalan dihadiri pak Bupati. Tuh, fotonya terpampang besar disamping tulisan " Launching Komunitas Siswa Sehat". Dari kejauhan Pak Kepala datang sambil melambaikan tangan, itu perintah untuk mendekat. Nah-nah ini ada apaan yah.
"Ini acara apaan?" tanyaku sok memberanikan diri.
"loh, emang ga dapet surat?" tukasnya
" Ga ada......"
"Kurang ajar! sudah saya suruh kirimin surat ke semua guru". Busset, ga nyangka bakalan ngomong begitu. Lepas tu masuk kantor dan mencari aktifitas yang kiranya mengurangi perhatian.
Sampai sekarang semuanya berjalan lancar. Terkecuali mik, beberapa kali tersedak-sedak kurang stamina. Sambutan pertama kali disampaikan oleh Kepala SMK. Dengan semangat mudanya mampu menyita perhatian hadirin dan pemirsa blog hehe. Tapi apa kan daya, pidato terpaksa dihentikan karena Bapak Bupati sudah berdiri tegap di belakang panggung. Loh, belakang panggung? Ceritanya sudah keliling-keliling lihat kondisi. Singkat cerita Bapak Bupati mengambil alih podium dan menyapa hadirin dengan teguran bersahabat.
" Program ini, Komunitas Siswa Sehat. Memangnya kita tidak sehat ya" Selera humor yang lumayan ampuh. Semua tertawa lebar dan melupakan ketegangan sejak awal.
Dua jam berlalu, pidato kebesaran yang bertemakan kesehatan mulai habis termakan waktu. Pemotongan pita merah, diikuti tepukan tangan menandakan acara peresmian telah usai. Waktunya untuk mencari alasan untuk keluar secepatnya dari tempat ini.
Pukul 11.36 aku berangkat pulang. Berkendara santai mengikuti alunan suara hati. Eiiiitttt! summmpreeeettt. Sepeda motor tiba-tiba nongol depan mata, sontak injak rem. Setahu saya motor metik remnya ga ada di kaki broooo (maklum saking seriusnya cerita ni). Saling pandang pun terjadi. Lompat saja dah ya, bagian ini kayaknya tidak menarik. Saling pandang sesama lelaki, ayo... kalau cewet si masih mending.
Sampai rumah, lepas sepatu buka baju buka celana nyalain kipas wuuuussssss terasa di atas awan. Si anak ketuk pintu dan bertanya " Bapak, mana inaq?". Ini alamat sudah. Kalau liat bapaknya pulang tanpa inaq (ibu) banter nangis dah mau dianterin. Itu resiko punya anak pinter, harus punya kesabaran tinggi seperti aku ni.
Perut mulai menggeliat minta jatah. Mau makan tapi terhalang malu sama mertua. Sakitnya hidup numpang ama mertua, makan banyak tetapi badan tetap ringan. Terpikir untuk beli nasi bungkus, remas saku celana uang hanya 10.000 rupiah. Nanti sudah setelah sang istri pulang, siapa tahu dia belum makan juga, tegasku dalam hati.
Tak dirasa waktu begitu cepat berlalu, dua jam sudah menunggu. Si kecil yang tadinya cerewet mau dianterin sekarang tertidur pulas di depanku. Senyum bercampur haru. Mengelus kepalanya dengan pelan, takut tidurnya terganggu.
Sambil menimbang rasa, derap langkah terdengar mendekat. Wajah berkeringat, usapan matahari panas membekas di sela-sela jilbab merah muda. Dia sudah pulang. Aku coba lempar senyuman, dibalas pandangan kaku dan merebahkan badan tepat depanku.
"Sudah makan, cinta?" tanyaku pelan.
"Sudah, sama guru-guru yang lain" jawabnya.
Senyumku melebar dan berkata
"Aku belum, Ini ada uang sepulu ribu. Beli Mie satu dan sisanya jajan untuk Fadhila"
Dia meregangkan badan. Aku tahu, lelah masih menguasai tubuhnya. Berjalan keluar sambil memasang jilbab meninggalkan ruang gerah pekat.
Ini bukan pertama kalinya terjadi, dan kami yakin sekarang susah besok pasti ada rizki yang tidak disangka-sangka.


Komentar